Cerita di Balik Coktas Pemilih Sepuh

Oleh: Agus Setiyanto
Ketua KPU Kabupaten Pemalang
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Pemalang baru-baru ini melaksanakan kegiatan pencocokan dan penelitian terbatas (Coktas) dalam rangka Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan (PDPB). PDPB merupakan kegiatan rutin KPU untuk memperbarui data pemilih secara terus-menerus agar Daftar Pemilih Tetap (DPT) senantiasa mutakhir dan valid.
Coktas kali ini menyasar kelompok pemilih yang disebut “pemilih anomali”, yaitu warga berusia di atas 100 tahun. Berdasarkan data yang ada, terdapat 44 pemilih berusia 100 tahun atau lebih di Kabupaten Pemalang. KPU menurunkan lima tim ke lapangan, dan hasilnya menunjukkan 9 orang telah meninggal dunia, sementara 35 orang lainnya masih hidup.
Namun, tulisan ini tidak dimaksudkan untuk membahas sisi administratif kegiatan tersebut. Lebih dari itu, kami ingin berbagi cerita dari balik Coktas — kisah-kisah yang kami temukan di lapangan bersama para pemilih sepuh, saksi hidup perjalanan panjang Pemalang.
Dari satu rumah ke rumah lain, kami mendengar beragam kisah tentang Pemalang tempo dulu. Dalam percakapan ringan, tersingkap kenangan tentang masa penjajahan, perjuangan kemerdekaan, hingga dinamika politik di tahun-tahun penuh gejolak. Semua cerita itu berpadu menjadi mozaik sejarah yang memperkaya makna kegiatan Coktas.
Komandan Senendan dari Belik
Di Desa Gunung Tiga, Kecamatan Belik, kami menemui Catem, perempuan kelahiran 1923 yang masih mengingat jelas masa penjajahan Belanda. Ia bercerita tentang pesawat-pesawat Belanda yang membombardir wilayah Belik dan bagaimana keluarganya bersembunyi di lubang perlindungan. “Zaman itu penuh penderitaan,” ujarnya lirih.
Catem juga mengingat masa 1965, ketika desa mereka gelap gulita setiap malam karena tak ada yang berani menyalakan lampu minyak.
Masih di kawasan Belik, seorang kakek bernama Narto (lahir 1920) menceritakan pengalamannya sebagai komandan Senendan, pasukan pemuda bentukan Jepang pada 1943. Ia masih hafal latihan-latihan militer yang dijalaninya di Tegal — baris-berbaris, kesiapsiagaan, hingga latihan fisik dengan senjata kayu.
Narto juga menuturkan situasi mencekam tahun 1965, ketika beberapa rumah dibakar dan sejumlah warga ditangkap karena dituduh terlibat PKI. Kini, meski sudah lanjut usia, ia masih mengikuti perkembangan politik. Saat ditanya siapa Presiden Indonesia saat ini, lirih namun jelas ia menjawab, “Prabowo.”
Kaki Gunung Gajah
Di Desa Gongseng, Kecamatan Randudongkal, kami bertemu Daryani, kakek kelahiran 1923 yang masih mengingat peristiwa banjir besar Kali Rambut tahun 1963. Menurutnya, bencana itu menelan 17 korban jiwa, tiga di antaranya tak pernah ditemukan.
Menariknya, generasi muda setempat yang mendampingi kami justru belum pernah mendengar kisah tersebut. Fakta ini menunjukkan betapa pentingnya mendengar langsung cerita dari saksi hidup sebelum semuanya hilang ditelan waktu.
Desa Gongseng sendiri berada di kaki Gunung Gajah, perbatasan Pemalang–Tegal, yang pada masa perang kemerdekaan dikenal sebagai jalur gerilya pejuang Indonesia. Cerita-cerita tentang perjuangan itu masih tersimpan di ingatan para sesepuh desa seperti Daryani.
Menjaga Ingatan, Merawat Partisipasi
Di balik kegiatan Coktas ini, kami menyimpan harapan sederhana: semoga di antara para lansia berusia 100 tahun itu ada yang pernah menjadi penyelenggara pemilu. Sayangnya, sejauh ini belum ada yang mengaku pernah bertugas di TPS, baik di Pemilu 1955 maupun Pemilu era Orde Baru.
Meski demikian, sebagian besar dari pemilih sepuh masih rutin menggunakan hak pilihnya. Narto, misalnya, meski harus digendong cucunya, tetap datang ke TPS untuk mencoblos. Beberapa pemilih sepuh lainnya menggunakan hak pilih dari rumah, dilayani dengan metode jemput bola. Layanan jemput bola ini untuk memudahkan pemilih lansia, disabilitas, ataupun sakit.
Kami berharap pada Pemilu dan Pilkada mendatang, momen-momen seperti ini dapat didokumentasikan melalui foto dan video. Tujuannya agar menjadi inspirasi sekaligus penyemangat bagi para penyelenggara pemilu di Kabupaten Pemalang.
Semoga catatan kecil ini menjadi pengingat bagi kita semua bahwa di balik angka-angka data pemilih, selalu ada manusia dengan kisah, pengalaman, dan sejarahnya sendiri.
* Artikel ini juga sudah pernah tayang di Radar Tegal edisi 25 Oktober 2025