Opini

Jejak Demokrasi di Lembaran Arsip

Oleh: Agus Setiyanto Ketua KPU Kabupaten Pemalang   Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan mendefinisikan arsip sebagai rekaman kegiatan atau peristiwa dalam berbagai bentuk dan media, sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Undang-undang ini membagi arsip menjadi beberapa kategori, antara lain arsip dinamis, arsip vital, arsip umum, arsip aktif, arsip inaktif, arsip terjaga, dan arsip statis. Tulisan ini secara khusus membahas arsip statis di KPU Pemalang, yakni seluruh dokumen Pemilu dan Pilkada yang tidak boleh hilang atau dimusnahkan. Arsip tersebut harus dipermanenkan karena memiliki nilai sejarah yang tinggi. Peraturan KPU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Jadwal Retensi Arsip menyebut beberapa jenis arsip statis Pemilu maupun Pilkada yang wajib dipermanenkan. Di antaranya Rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap (DPT), Keputusan KPU tentang penetapan daerah pemilihan dan jumlah kursi Anggota DPRD Kabupaten, Laporan Dana Kampanye Peserta Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, salinan hasil perolehan suara pemilihan presiden, serta berita acara rekapitulasi hasil penghitungan suara pemilihan gubernur maupun bupati. Arsip-arsip tersebut jumlahnya sangat banyak, mencapai ribuan lembar, baik dalam bentuk fisik maupun digital. UU maupun PKPU memang telah mengatur tata kelola serta pemanfaatan arsip, terutama arsip statis. Namun, kondisi di lapangan sering kali lebih kompleks dibandingkan dengan yang tertulis di atas kertas regulasi. Upaya Pelestarian KPU Pemalang sebenarnya sudah memiliki gudang arsip yang cukup memadai. Hanya saja, kami belum memiliki seorang arsiparis—seseorang yang memiliki kompetensi di bidang kearsipan melalui pendidikan formal atau pelatihan khusus, serta bertugas melaksanakan kegiatan kearsipan secara profesional. Sejauh ini, urusan arsip masih ditangani oleh subbagian yang juga menangani keuangan, umum, dan logistic (KUL). Dari sisi koleksi, arsip kami juga belum lengkap. Arsip yang tersedia baru mencakup Pemilu era Reformasi, sedangkan arsip Pemilu pertama (1955) hingga masa Orde Baru belum kami miliki. Tantangan terbesar saat ini adalah pelestarian jangka panjang. Banyak arsip statis mulai menua, belum semua terdigitalisasi, tercecer, dan sulit diakses publik. Baru-baru ini, dalam sebuah talkshow bertema Merawat Arsip Pemilu dan Pemilihan yang digelar KPU Pemalang, seorang dosen dan peneliti sejarah dari Universitas Diponegoro menyampaikan pandangan menarik: salah satu penyebab minimnya tulisan sejarah daerah, khususnya Pemilu, adalah karena sulitnya peneliti mengakses arsip kepemiluan. Arsip-arsip kepemiluan selama ini hanya bisa didapatkan dari dalam kantor instansi. Untuk bisa mengaksesnya, peneliti harus melewati serangkaian prosedur administrasi yang sering kali rumit di lapangan. Selain itu, koleksi arsip lama umumnya tidak lengkap. Pernyataan itu menggambarkan pentingnya keterbukaan arsip statis bagi riset sejarah dan demokrasi lokal. Ke depan, KPU Pemalang ingin mengubah paradigma pengelolaan arsip dari yang bersifat tertutup dan elitis menjadi lebih inklusif dan demokratis. Kami tengah menyiapkan langkah-langkah agar arsip kepemiluan dapat diakses lebih mudah oleh siapa pun yang ingin belajar, meneliti, atau menulis tentang demokrasi di Pemalang. Paling tidak, hal ini dapat mendorong mahasiswa asal Pemalang—di mana pun mereka berkuliah—untuk menulis skripsi bertema kepemiluan di daerahnya sendiri. Pengalaman kami menunjukkan bahwa penelitian tentang kepemiluan di Kabupaten Pemalang masih jarang dilakukan. Ke depan, arsip permanen kepemiluan tidak hanya tersimpan di rak, tetapi juga dapat hadir dalam bentuk publikasi seperti buku, infografis, foto story, atau film dokumenter yang bisa diakses masyarakat luas. Bayangkan jika publikasi seperti itu tampil di acara car free day di Alun-alun Pemalang. Masyarakat dapat melihat langsung spesimen surat suara lama, foto peserta Pemilu maupun Pilkada, serta potret petugas TPS dari berbagai zaman. Acara seperti ini bukan hanya menarik, tetapi juga mendidik. Kami akan menggandeng arsiparis daerah untuk melatih jajaran KPU Pemalang mengelola arsip statis kepemiluan. Melalui kerja sama ini diharapkan terwujud penyelenggaraan kearsipan yang sesuai dengan prinsip, kaidah, dan standar kearsipan sebagaimana semangat UU Kearsipan. Kami juga tengah berupaya mengumpulkan arsip-arsip lama, dan dalam waktu dekat akan bersurat ke Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Siapa tahu, di sana terdapat koleksi arsip kepemiluan yang berkaitan dengan Kabupaten Pemalang. Merawat Memori Selain dokumen resmi, kami juga menyimpan catatan peristiwa penting di balik Pemilu. Misalnya, peristiwa bocornya gudang logistik yang menyimpan jutaan surat suara hanya beberapa hari sebelum hari pencoblosan. Penyebabnya, limpasan hujan besar merembes dari atap dan dinding gudang, membasahi ribuan surat suara yang sudah terlipat rapi. Suatu malam, tak lama setelah pemungutan suara, ratusan orang mendatangi kantor KPU Pemalang. Mereka mempertanyakan perbedaan data perolehan suara antara hasil di lapangan dan data yang ditampilkan di aplikasi Sirekap. Kejadian itu viral di grup-grup WhatsApp dan menarik perhatian media nasional. Tak lupa kami menyimpan catatan peristiwa langka dalam Pilkada, seperti ketika seorang figur publik nasional, Vicky Prasetyo, pernah mencalonkan diri sebagai Bupati Pemalang. Mungkin 50 tahun mendatang, banyak orang akan lupa bahwa peristiwa itu pernah terjadi—dan di situlah nilai sejarah arsip menemukan maknanya. Setiap periode penyelenggaraan Pemilu maupun Pilkada meninggalkan jejak. Ada yang tertulis di buku, tersimpan di ingatan, dan ada pula yang rapi terjaga di ruang arsip. Bagi kami, arsip bukan sekadar administrasi, melainkan saksi perjalanan demokrasi. Ia merekam bagaimana warga memilih pemimpin, berpolitik, dan bernegara. Arsip statis kepemiluan menyimpan kisah yang jauh lebih kaya daripada angka dan tabel perolehan suara. Di sana tersimpan cerita tentang kerja keras penyelenggara, semangat pemilih di TPS, hingga dinamika kampanye yang penuh warna. Karena itu, jangan biarkan arsip tersebut  teronggok di rak atau gudang. Rawatlah, bacalah, dan jadikan ia sumber pengetahuan.   *Artikel ini juga dimuat di halaman opini Radar Tegal edisi 12 November 2025

Cerita di Balik Coktas Pemilih Sepuh

Oleh: Agus Setiyanto Ketua KPU Kabupaten Pemalang   Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Pemalang baru-baru ini melaksanakan kegiatan pencocokan dan penelitian terbatas (Coktas) dalam rangka Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan (PDPB). PDPB merupakan kegiatan rutin KPU untuk memperbarui data pemilih secara terus-menerus agar Daftar Pemilih Tetap (DPT) senantiasa mutakhir dan valid. Coktas kali ini menyasar kelompok pemilih yang disebut “pemilih anomali”, yaitu warga berusia di atas 100 tahun. Berdasarkan data yang ada, terdapat 44 pemilih berusia 100 tahun atau lebih di Kabupaten Pemalang. KPU menurunkan lima tim ke lapangan, dan hasilnya menunjukkan 9 orang telah meninggal dunia, sementara 35 orang lainnya masih hidup. Namun, tulisan ini tidak dimaksudkan untuk membahas sisi administratif kegiatan tersebut. Lebih dari itu, kami ingin berbagi cerita dari balik Coktas — kisah-kisah yang kami temukan di lapangan bersama para pemilih sepuh, saksi hidup perjalanan panjang Pemalang. Dari satu rumah ke rumah lain, kami mendengar beragam kisah tentang Pemalang tempo dulu. Dalam percakapan ringan, tersingkap kenangan tentang masa penjajahan, perjuangan kemerdekaan, hingga dinamika politik di tahun-tahun penuh gejolak. Semua cerita itu berpadu menjadi mozaik sejarah yang memperkaya makna kegiatan Coktas. Komandan Senendan dari Belik Di Desa Gunung Tiga, Kecamatan Belik, kami menemui Catem, perempuan kelahiran 1923 yang masih mengingat jelas masa penjajahan Belanda. Ia bercerita tentang pesawat-pesawat Belanda yang membombardir wilayah Belik dan bagaimana keluarganya bersembunyi di lubang perlindungan. “Zaman itu penuh penderitaan,” ujarnya lirih. Catem juga mengingat masa 1965, ketika desa mereka gelap gulita setiap malam karena tak ada yang berani menyalakan lampu minyak. Masih di kawasan Belik, seorang kakek bernama Narto (lahir 1920) menceritakan pengalamannya sebagai komandan Senendan, pasukan pemuda bentukan Jepang pada 1943. Ia masih hafal latihan-latihan militer yang dijalaninya di Tegal — baris-berbaris, kesiapsiagaan, hingga latihan fisik dengan senjata kayu. Narto juga menuturkan situasi mencekam tahun 1965, ketika beberapa rumah dibakar dan sejumlah warga ditangkap karena dituduh terlibat PKI. Kini, meski sudah lanjut usia, ia masih mengikuti perkembangan politik. Saat ditanya siapa Presiden Indonesia saat ini, lirih namun jelas ia menjawab, “Prabowo.” Kaki Gunung Gajah Di Desa Gongseng, Kecamatan Randudongkal, kami bertemu Daryani, kakek kelahiran 1923 yang masih mengingat peristiwa banjir besar Kali Rambut tahun 1963. Menurutnya, bencana itu menelan 17 korban jiwa, tiga di antaranya tak pernah ditemukan. Menariknya, generasi muda setempat yang mendampingi kami justru belum pernah mendengar kisah tersebut. Fakta ini menunjukkan betapa pentingnya mendengar langsung cerita dari saksi hidup sebelum semuanya hilang ditelan waktu. Desa Gongseng sendiri berada di kaki Gunung Gajah, perbatasan Pemalang–Tegal, yang pada masa perang kemerdekaan dikenal sebagai jalur gerilya pejuang Indonesia. Cerita-cerita tentang perjuangan itu masih tersimpan di ingatan para sesepuh desa seperti Daryani. Menjaga Ingatan, Merawat Partisipasi Di balik kegiatan Coktas ini, kami menyimpan harapan sederhana: semoga di antara para lansia berusia 100 tahun itu ada yang pernah menjadi penyelenggara pemilu. Sayangnya, sejauh ini belum ada yang mengaku pernah bertugas di TPS, baik di Pemilu 1955 maupun Pemilu era Orde Baru. Meski demikian, sebagian besar dari pemilih sepuh masih rutin menggunakan hak pilihnya. Narto, misalnya, meski harus digendong cucunya, tetap datang ke TPS untuk mencoblos. Beberapa pemilih sepuh lainnya menggunakan hak pilih dari rumah, dilayani dengan metode jemput bola. Layanan jemput bola ini untuk memudahkan pemilih lansia, disabilitas, ataupun sakit. Kami berharap pada Pemilu dan Pilkada mendatang, momen-momen seperti ini dapat didokumentasikan melalui foto dan video. Tujuannya agar menjadi inspirasi sekaligus penyemangat bagi para penyelenggara pemilu di Kabupaten Pemalang. Semoga catatan kecil ini menjadi pengingat bagi kita semua bahwa di balik angka-angka data pemilih, selalu ada manusia dengan kisah, pengalaman, dan sejarahnya sendiri.   * Artikel ini juga sudah pernah tayang di Radar Tegal edisi 25 Oktober 2025

Populer

Belum ada data.